All things are One. There is no polarity, no right or wrong, no disharmony, but only identity.
All is One, and that one is love/light, light/love, The One Infinite Creator...


~Ra, humble messenger of the Law of One~

Saturday, December 6, 2008

Menguak Rahasia Penciptaan (1)

Rancang Bangun Harmonis sang-Pencipta
Disadur ringkas dari buku Shift of the Ages karya David Wilcox
Selengkapnya dapat di download for free di: www.divinecosmos.com

Bagian Pertama

Tulisan ini akan memulai perjalanan kita menguak sejarah tersembunyi dari planet Bumi, yang merupakan kunci utama kita untuk membuka rahasia dari Semesta Raya. Mohon dicamkan bahwa beberapa konsep mungkin akan sulit untuk dicerna oleh akal kita sekarang ini, karena memang harusnya disampaikan terlebih dahulu jauh sebelum materi ini, namun ada keuntungan yang besar untuk mendapatkan informasi ini dibelakang seiring perjalanan kita. Seperti biasa, jika ada suatu bagian yang terasa menghambat, simpan aja dulu dan teruskan membaca karena yang penting adalah persepsi keseluruhan dari yang akan anda terima dan bukan kerumitan detilnya.

Diskusi dalam materi ini secara bertahap akan membawa kita untuk memahami bahwa peradaban kuno mengetahui lebih banyak akan cara alam semesta bekerja daripada kita di jaman yang disebut modern ini. Jika kita ingin memahami bagaimana cara dunia fisikal kita sebenarnya bekerja, termasuk hubungannya dengan dunia spiritual, salah satu sumber dan bukti terbaik yang dapat kita temukan adalah dalam naskah kuno dan pecahan ornamen dari masa yang jauh lampau. Sebenarnya kita tidak bisa menyangkal lagi bahwa “peradaban yang sangat maju” pernah ada paling tidak sekitar 12.500 tahun yang lalu atau bahkan lebih lama lagi. Bagi mereka yang tertarik untuk mengadakan riset dan studi tentang ini lebih lanjut berikut beberapa buku yang ditulis oleh mereka-mereka yang telah membuktikan diri mereka sebagai penulis yang reputasi akademik, intelektual dan integritasnya telah diakui.

The Mysteries of Atlantis Revisited by Edgar Evans Cayce

    Fingerprints of the Gods by Graham Hancock

    When the Sky Fell by Rand and Rose Flem-Ath

    The Orion Mystery by Robert Bauval and Adrian Gilbert

    Message of the Sphinx by Graham Hancock and Robert Bauval

    From Atlantis to the Sphinx by Colin Wilson

Lantas apa sih benang merah dari yang disampaikan dalam buku-buku tersebut di atas? Tak lain dan tak bukan adalah smoking gun” atau “pistol yang masih berasap” merujuk pada istilah dalam kamus inggris akan suatu “bukti” yang tak terbantahkan akan kebenaran suatu fakta. Secara singkat inilah beberapa “smoking gun” tersebut:

Saluran Irigasi dari Sphinx di Mesir

Melalu serangkaian riset dan penggalian arkeologis di sekitar Sphinx Besar di Mesir dan tiga piramida utama di daerah kawah Giza menunjukkan tanda-tanda yang tidak terbantahkan bahwa terdapat saluran irigasi dan pengairan yang tertata sangat baik. Tekstur dan formasi dari reruntuhan yang ditemukan pun menunjukkan bahwa telah terjadi erosi air yang berlangsung ratusan atau mungkin ribuan tahun. Padahal pada masa itu tidak ada air sama sekali di gurun pasir Mesir seperti yang dengan mudah dapat di buktikan melalui studi geologis di daerah tersebut.

Jalur irigasi yang menimbulkan tanda tanya besar ini awalnya di temukan oleh RA Schwaller de Lubicz, seorang ilmuwan brilian yang melalui serangkaian penelitian mengubah secara total pemahaman dunia akan Mesir kuno dan Atlantis pada pertengahan abad 19.

Dan karena kita semua tahu bahwa Mesir sekarang ini adalah gurun pasir tandus, Sphinx tersebut pastilah dibangun jauh sebelum daerah tersebut menjadi gurun pasir, diwaktu dimana tumbuhan hijau, iklim tropis dan curah hujan yang banyak menjadi ciri utamanya.

Bahkan estimasi yang paling berani menyebutkan bahwa kondisi dimana cukup air di Mesir utk menciptakan formasi bangunan dan peninggalan irigasi seperti itu paling tidak adalah waktu di sekitar 7000 tahun sebelum masehi namun kebanyakan ilmuwan sepakat 9000 tahun sebelum masehi adalah waktu yang lebih realistis. Bagaimanapun makin tua waktu yang diperkiran akan makin masuk akal, karena waktu untuk munculnya kebudayaan dengan teknologi irigasi yang canggih dan rumit seperti itu pastilah bukan beberapa ratus tahun tapi kemungkinan besar ribuan tahun.

Dan akhirnya kalaupun banyak yang menyingkirkan banyak bukti kuat yang mendukung tentang keberadaan kebudayaan maju ribuan tahun lalu, tapi dalam kasus Sphinx ini kita akan selalu tahu bahwa ini adalah salah satu cara untuk mengatakan bahwa kebudayaan kuno entah itu yang disebut Atlantis atau yang lainnya benar-benar pernah ada mendahului kita.

Susunan Piramida Giza dari Robert Bauval

Argumentasi akademis populer berikutnya akan eksistensi Atlantis datang dari Robert Bauval dalam bukunya “The Orion Mystery” di awal 1990, ditambah Dr. J.J Hurtak secara terpisah menyebutkan observasi serupa dalam bukunya “The Key of Enoch” di tahun 1970.

Ketiga piramida utama Mesir di daerah Giza dirancang sedemikian rupa secara berdekatan satu sama lain, dan Bauval sangat penasaran akan ketidak simetrisan dari layout dari ketiga piramida yang sangat jelas terlihat. Dia berkeyakinan bahwa pasti ada suatu alasan kenapa piramida tersebut dibangun dengan susunan sebagaimana terlihat jika sekarang ini dilihat ketinggian. Inspirasi spontan merasuki dirinya ketika mengamati langit dimalam hari dimana ia melihat konstelasi bintang Orion, yang mempunyai 3 bintang utama di bagian tengah yang sering disebut sebagai “sabuk Orion”, Bauval menyadari bahwa Piramida Giza dibangun dengan susunan yang persis sama dengan “sabuk” konstelasi Orion, dan dia segera membuktikan dugaannya dengan membandingkan peta lokasi piramida dengan peta bintang kontelasi Orion.

Bukan hanya susunan piramida yang serupa, bahkan ukuran relatif dan warna dari piramida berhubungan langsung dengan kekuatan pancaran dan warna dari bintang-bintang di sabuk Orion. Piramida Cheops dan Khefren aslinya tertutup warna putih batu kapur dan seukuran dengan dua bintang putih pada sabuk Orion, sedangkan piramida Menkaure jauh lebih kecil dan aslinya berwarna merah granit serupa dengan bintang redup merah dari bintang ketiga dalam susunan sabuk Orion.

Ketika Bauval melanjutkan penelitian akan hal ini, ia menyadari bahwa arsitek dari piramida Giza telah membuat duplikasi sempurna dari gemerlapnya Heavens on Earth, surga dibumi – suatu ide yang cocok secara sempurna dengan konsep di kebudayaan Mesir akan hubungan erat dunia fisikal dan “Duat” atau Dunia spritual. Lebih jauh lagi, posisi dari sungai Nil relatif terhadap piramida identik dengan posisi “Jalan Susu” (suatu susunan gas dan bintang berwarna putih seperti tumpahan susu) relatif terhadap konstelasi bintang Orion. Piramida yang agak jauh di sekitar Giza juga memperlihatkan bahwa bintang-bintang utama dari konstelasi Orion dan tetangganya Konstelasi Hyades juga diabadikan di bumi.

Figure 2.1 – Robert Bauval's Comparison of Orion/Milky Way with Giza/Nile

Walaupun susunan ini membangkitkan minat kita namun kelihatannya tidak memberikan kita suatu informasi baru akan waktu piramida tersebut dibangun. Namun dengan menggunakan program komputer SkyGlobe, Bauval menyadari bahwa satu-satunya waktu terdekat dimana Jalan Susu di galaksi Bima Sakti ini akan secara sempurna sejajar dengan Sungai Nil adalah kira-kira 12.500 tahun yang lalu. Pada waktu itu, dan HANYA pada waktu itu (kecuali kalo kita berjalan jauh ke masa 30.000 tahun yang lalu) seseorang dapat berdiri diatas permukaan bumi dan mengamati bahwa Piramida Giza dan sungani Nilnya di kejauhan dan menyaksikan sungai Nil sejajar sempurna dengan Jalan Susu, sedangkan bintang-bintang pada sabuk konstelasi Orion akan tersusun sempurna dengan posisi piramida-piramida Giza di bumi. Ini disebabkan oleh fenomena Earth Precession, peristiwa doyongnya bumi dalam jalur rotasinya yang akan kita bahas lebih detil nanti.

Secara awam mungkin kita menyangka bahwa jika kita mengamati bintang pada waktu yg sama tiap tahunnya dan Bumi sedang pada sudut tertentu terhadap Matahari seperti saat Equinox (saat dimana waktu siang dan malam persis sama 12 jam) ataupun pada waktu Solstice (saat titik balik matahari) maka semua posisi bintang akan persis sama dari tahun ketahun. Kenyataannya, bintang-bintang di langit malam akan tergelincir dari posisi yang kita amati semula sebanyak 1 derajat tiap 72 tahun, mengikuti jalur melingkar melintasi area langit dan akan mencapai putaran 360 derajat (kembali ke titik awal pengamatan) setiap 25.920 tahun. Jika kita membangun monumen yang sejajar dengan satu bintang pada saat titik balik matahari, maka dalam waktu relatif singkat keturunan kita akan menyadari bahwa sesuatu telah menyebabkan posisi bintang tersebut bergeser dari posisi sebelumnya.

Jadi, jelas terlihat bahwa Bauval ternyata menemukan “Kapsul Waktu” berupa informasi yang dikodifikasikan dalam susunan arkeologis, dirancang secara cermat untuk menunjukkan The Exact Time ketika seluruh bangunan itu direncanakan dan di bangun. Sangat jelas sang arsitek kuno sangat jenius untuk dapat merencanakan dan membuat desain seperti itu. Informasi lain yang sangat menakjubkan adalah fakta bahwa pada saat rentang waktu yang sama, dan HANYA pada rentang waktu yang sama tersebut, Sphinx yang ada di komplek Piramida Giza menghadap ke arah konstelasi Leo, si Singa. Rangkaian temuan ini sangat gamblang dan tak terbantahkan sehingga menerobos prasangka miring dari Arkelogis aliran utama dan secara langsung dipublikasikan lewat film-film dokumenter di Discovery Channel dan sejenisnya.

Pengeboran Super Canggih

Terobosan terbaru dari argumentasi akan “Kebudayaan yang hilang” denga teknologi canggihnya datang dari Christopher Dunn, yang keahlian utamanya adalah dalam bidang pengeboran. Dia membuktikan secara definitif bahwa beberapa artifak kuno termasuk peti mati kosong yang dikenal dengan “Granite Coffer” atau peti mati granit yang ditemukan di Kamar Raja di Piramida Besar Mesir, menunjukkan tanda akan teknik pengeboran super canggih yang bahkan mengalahkan semua teknik dan metode yang kita punya sekarang ini.

Dunn menganalisa bahwa Granite Coffer telah di bolongi dengan suatu bor berbentuk tabung yang menembus bagian tengahnya sedikit demi sedikit. Pola spiral yang ditinggalkan pada granit tersebut memperlihatkan bahwa bor ini mampu menembusnya 1/10 inci batu granit per detik. Bagaimanapun Granit adalah batuan keras yang bahkan sistem bor bermata berlian termodern tak bisa menembus lebih baik dari 1/100 inci batu granit per detik, yang artinya Teknologi di masa kuno itu bekerja sepuluh kali lebih baik dari alat dan metode yang kita punya sekarang ini.

Dalam buku-buku seperti Fingerprints of the Gods, Graham Hancock membahas tentang aspek mengejutkan dari penelitian Dunn, dimana pada berbagai makam di Mesir ditemukan pahatan vas bunga dan patung dari batu Diorite, yaitu material batuan berwarna gelap yang disebut sebagai salah satu jenis bebatuan terkeras di bumi.

Vas bunga ini memiliki leher yang sangat panjang dan tipis, dan terpahat dari satu potong bebatuan Diorite. Mulut vas ini sangat kecil diameternya sehingga jika seorang anak kecil ingin memasukkan jarinya, maka tidak akan muat untuk melalui mulut vas bunga dari batu Diorite ini, walaupun demikian bagian dalamnya terpahat dan terlubangi dengan sempurna.

Jadi sekarang kita bukan hanya harus membayangkan sebuah bor yang dapat mempermalukan semua bor yang kita punya sekarang, tapi juga bor yang mempunyai fleksibilitas sangat tinggi agar dapat menghasilkan lubang mini pada sepotong batu diorite untuk kemudian bergerak di dalam batuan secara bebas dan menghasilkan bolongan sempurna di dalamnya. Dunn menyimpulkan bahwa kebudayaan kuno ribuan tahun lalu itu pasti memiliki teknik dan alat bor yang jauh lebih unggul dari yang manusia modern miliki sekarang ini.

Walaupun temuan ini tidak menunjukkan kapan persisnya waktu teknologi secanggih itu dikembangkan, temuan ini tentu saja tidak selaras dengan teknologi Mesir kuno yang kita ketahui secara umum. Teknologi ini nampaknya sangat mirip dengan kebudayaan yang memiliki kemampuan teknis sebanding atau bahkan melebih kebudayaan manusia modern.

Pesawat Terbang Kuno

Ilmuwan Richard Hoagland dari tim riset The Enterprise Mission, di www.enterprisemission.com/tombsweb3.html,

menunjukkan suatu temuan relatif baru dan menarik dalam pembuktian masyarakat berteknologi tinggi yang hilang. Satu diantaranya, adalah tentang temuan ilmuwan Jerman Dr. Algund Eeboom dan Mr. Peter Belting, yaitu perhiasan kecil terbuat dari emas di makam kuno Indian Inca, berasal dari masa ribuan tahun yang lalu. Perhiasan atau aksesoris kecil ini terlihat jelas miniatur dari struktur yang sangat jelas dari sebuah pesawat terbang, lengkap dengan apa yang terlihat seperti moncong senjata dan sayapnya, coba lihat sendiri :

Figure 2.2 – Eeboom and Belting’s discovery of ancient gold trinkets of working aircraft.

Untuk membuktikan bahwa miniatur ini adalah mewakili pesawat terbang sungguhan, Eeboom dan Belting berkolaborasi untuk membangun diagram sistematis dari miniatur tersebut. Mereka memperbesar proporsi dari cetak biru miniatur pesawat kuno ini sampai cukup besar untuk dibuat model yang bisa berfungsi. Dan dalam kekagumannya, mereka menemukan bahwa dengan hanya menambahkan baling-baling dibagian depan dan stabilizers di sayap-sayapnya, pesawat model itu bukan hanya dapat terbang namun juga mampu melakukan manuver aeronatika yang kompleks melalui remote kontrol.

Tim riset Hoagland juga mendiskusikan fakta yang telah secara luas diketahui yaitu peluncur mini berbentuk sayap burung yang ditemukan di makam-makam Mesir kuno. Karena peluncur ini sangat mirip dengan pesawat terbang dan mampu melayang jauh jika di lempar, kita dapat menyimpulkan bahwa Mesir Kuno menguasai juga akan teknologi terbang ini. Dengan ditemukannya bukti serupa di makam Indian Inca kuno sebagaimana dipaparkan di atas, kita dapat memperkirakan bahwa peluncur sayap burung di Mesir itu adalah mainan anak yang merupakan model miniatur dari teknologi angkasa yang telah digunakan sehari-hari pada suatu waktu di masa lampau.

Dengan demikian, jika kita melihat pada model pesawat terbang yang bisa berfungsi dan di miniaturisasi pada perhiasan kecil emas dan peluncur kayu dari dua kebudayaan kuno berbeda terpisahkan oleh samudra Atlantik, kita tentu saja dapat menyimpulkan bahwa masyarakat berkebudayaan tinggi dalam skala luas dengan kemampuan teknis membangun kendaraan terbang mestinya pernah eksis juga pada suatu waktu. Memang agak frustasi juga karena sampai sekarang model dengan ukuran sebenarnya belum ditemukan reruntuhannya, tapi jika mengingat waktu yg telah dilalui mencapai 12.500 tahun, dapat dimengerti jika segala struktur yang terbuat dari logam atau kayu sudah lama musnah, entah itu tersapu air, dibawa angin, termakan karat ataupun berbagai bentuk pembusukan dan peluruhan lainnya.

Sehingga selain tampilannya yang serupa mainan anak, yang mungkin sekali memang pernah dimainkan oleh anak-anak pada suatu waktu, perhiasan emas mini ini dapat pula dianggap benda yang suci, semacam peninggalan suci dari sisa kebudayaan Dewa-dewi yang hancur dalam lautan waktu. Miniatur yang berharga ini nampaknya disimpan dan kemungkinan di duplikasi berkali-kali selama ribuan tahun oleh survivor dari kebudayaan era Atlantis di wilayah Inca kuno dan Mesir kuno sebelum dikuburkan dalama makam-makam mereka. Sangat mungkin benda-benda ini dijadikan simbol akan adanya suatu masa Dewa-dewi yang hilang, masa dimana manusia menaklukkan angkasa dan mampun terbang sesuka hati kesegenap penjuru dengan berkah dari teknologi canggih.

Kota Bawah Laut

Jika seseorang masih belum yakin oleh pesawat terbang kuno yang benar-benar bisa terbang, susunan kode waktu spesial dari piramida Giza, pengeboran super canggih, dan irigasi air dari Sphinx, Smoking gun yang jauh lebih impresif sekarang ini telah muncul di mainstream media.

Pada akhir 2001, Paul Weinzweig dan Paulina Zelitsky dari PT. Advanced Digital Communication, sebuah perusahan yang mendedikasikan diri pada penggunaan teknologi scanninng sonar bawah laut canggih untuk mencari reruntuhan kapal karam, menemukan kota besar dari piramida, jalan dan bangunan di kedalaman 2000 meter dibawah dasar laut di wilayah barat dari Kuba, yang dipublikasikan secara terbuka oleh Kevin Sullivan di Washington Post halaman A25 tanggal 10 Oktober 2002.

Dalam perkembangannya Zelitsky membocorkan kepada tim riset Hoagland bahwa mereka juga menemukan patung Sphinx raksasa dari wilayah kota besar dibawah dasar laut tersebut. Dalam penelitian lebih lanjut terlihat bahwa pada suatu waktu kota tersebut pernah berada di permukaan tanah walau ditemukan dalam kedalaman ekstrim 2000 meter di bawah dasar laut.

Walau kemudian temuan menimbulkan kontroversi berikut pro dan kontranya, kita mesti ingat akan kisah para pendeta yang menolak mengamati langit melalui teleskop Galileo, hanya karena mereka sebenarnya takut dan tidak mau melihat bukti bahwa mereka telah keliru. Jadi, tak masalah mau dinamakan kebudayaan apa, sebuah peradaban mutakhir dari manusia pernah ada, titik. Ketika National Geographic berencana sebuah misi besar untuk mengirim kapal selam bawah laut mini berawak manusia ke lokasi ditemukannya kota dibawah dasar laut tersebut, serangkaian halangan akan dukungan dana dan proses birokrasi membuat misi tersebut tertunda-tunda.

Nampaknya, “pihak-pihak” tertentu beranggapan bahwa dunia belum siap untuk menerima kenyataan yang mungkin akan terungkap...dan kita akan membicarakan mengapa hal seperti ini dapat terjadi dalam bagian lebih lanjut dari tulisan ini nanti.

........bersambung ke bagian kedua

No comments:

 

Copyright 2016 Wanderers Home

Created By Yan Rezky | Designed By Zalfy Putra