All things are One. There is no polarity, no right or wrong, no disharmony, but only identity.
All is One, and that one is love/light, light/love, The One Infinite Creator...


~Ra, humble messenger of the Law of One~

Friday, December 12, 2008

Apakah kehidupan sebuah Ilusi?

Mungkin sebagian besar dari kita akan berkata bahwa “ ya ndak dong, ini buktinya saya ada kok, bisa di pegang, dilihat, begitu juga alam disekeliling kita, bisa saya lihat, dengar, dan rasakan jadi kehidupan ini nyata adanya”…

Well, untuk benar-benar menyelami masalah ini kita harus mengetahui bagaimana Diri kita ini bekerja dan berfungsi dalam hubungan interaksinya dengan alam sekitar dan kehidupan itu sendiri.

Apa yang kita sebut sebagai “Diri” pada umumnya adalah merujuk pada sosok fisikal yang kita miliki, namun lebih dalam dari pada itu, diri kita juga adalah sebuah kesadaran, kesadaran yang kita sampai sekarangpun tidak tahu dimana “tempat” nya dalam tubuh fisikal kita. Bahkan sebenarnya kesadaran inilah yang membuat kita bisa mengenal dan mempersepsikan tubuh fisikal kita termasuk alam raya tempat dimana kita secara fisikal menjalani hidup.

Lho, apa bukan di otak tempatnya kesadaran? Otak, yang merupakan organ fisikal terdiri dari susunan syaraf ternyata hanyalah ibarat prosesor yang mengolah “informasi” sedang si pembaca, pe-ngerti, dan si pencerap informasi tidak ditemukan dalam otak itu sendiri, si pengamat yang menggunakan otak untuk mendapatkan informasi akan segala sesuatu tidak ditemukan di tataran fisikal manapun, eksistensi si pengamat merupakan supra-materi, diluar dari domain dan cakupan fisikal diri kita.

Namun begitu, umumnya kita tetap menyebut kesadaran kita itu yang merupakan bagian dari keseluruhan diri kita itu sebagai “Inner-self” kita atau “Diri-kita-yang-didalam” merujuk pada pengertian bahwa kesadaran itu “terkandung” dan tersembunyi dalam keberadaan diri fisikal kita.

Inner-Self ini diidentifikasi mempunyai beberapa sub-system, yang merupakan bagian dari keseluruhan fungsi kesadaran yang dalam tulisan ini akan kita sebut dengan “Inner-Self” sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya. Tiap sub-system ini dikategorisasi dengan membedakan frekuensi gelombang otak ketika sub-system ini beroperasi.

System subsconscious atau system bawah-sadar mempunyai fungsi untuk mengelola kerja organ fisikal seperti otot jantung dan paru-paru sehingga kita tidak perlu secara “sadar” menyuruh otot jantung untuk memompa darah dan paru-paru untuk menghirup oksigen, bayangkan jika untuk memompa darah saja kita harus menyuruh dulu otot jantung untuk bekerja…repot aja kaliii…jadi system ini sangat bermanfaat bagi kita agar kita punya kesempatan untuk mencerap pengalaman lain yang ditawarkan kehidupan.

Sementara system yang lain lagi pada kesadaran kita bertanggung jawab mengenai intuisi, kreatifitas dan “pembimbing pribadi dari dalam” yang disebut dengan istilah system superconscious atau system supra-sadar.

Nah, kalau kedua system ini fungsi dan fokusnya adalah ke-dalam, maka system waking-conscious atau system sadar kita merujuk kepada kesadaran terjaga kita sehari-hari berfungsi dengan sangat berbeda.

Kesadaran-terjaga kita inilah yang sebenarnya kita sebut “Outer-self” atau Diri-kita-yang-diluar” karena fungsinya adalah untuk focus kepada “dunia” yang dipersepsikan adanya “diluar” diri sana. Outer-self kita sebenarnya adalah bagian dan subsystem dari kesadaran paripurna kita, dan Outer-self pada dasarnya tercipta sebagaimana otak manusia berfungsi.

Otak manusia dirancang untuk focus hanya kepada aliran data yang terus menerus datang dan ditangkap oleh sensor-sensor fisikal. Sensor ini yang kita sebut indera, meliputi indera penglihatan, pendengaran, peraba, pembau dan perasa secara terus menerus mengirimkan informasi ke bagian otak yang juga memproduksi persepsi akan ruang dan waktu. Dengan mengkombinasikan impresi-impresi dari semua indera sensorik dengan prosesor ruang-waktu yang ada di otak, maka kita mendapatkan proyeksi berupa 3-dimensional persepsi yang memberikan impresi bahwa kehidupan itu berlangsung “diluar sana” diluar dari diri kita.

Pada realitasnya, space, ruang adalah internal bukan eksternal. Ruang merupakan cara dari kesadaran melihat dirinya sendiri dari berbagai sudut pandang. Dengan melihat dirinya sendiri dari berbagai perspektif kesadaran dapat menciptakan proyeksi dan ilusi dari berbagai posisi dalam ruang itu sendiri.

Ketika sang pencipta menciptakan semesta penuh dengan ruang yang tak-terbatas, diisi-Nya ruang itu dengan medium dasar berupa medan energi magnetic. Medan inilah yang berfungsi sebagai pembawa bentuk energi yang aktif yang pada akhirnya memungkinkan fisikal manifestation itu tercipta.

Ketika tubuh fisikal kita berada “fixed” pada satu lokasi tertentu di ranah fisikal, kesadaran kita bebas mengembara ke lokasi manapun secara instant atau spontan. Dalam kesadaran kita, dimungkinkan untuk kita merelokasi perhatian kita secara spontan ke lokasi lain hanya dengan memindahkan persepsi kita ke lokasi yang baru, dan ketika kesadaran kita “berada” dilokasi yang baru, kalau kita mau melakukan percobaan kecil, yaitu dengan mengumpulkan informasi mengenai lokasi tersebut dan memvalidasinya kemudian, kita dapat membuktikan bahwa kesadaran kita benar-benar berada disana dan mengobservasi kondisi di lokasi tersebut, fenomena inilah yang dikenal dengan istilah remote-viewing. Kebebasan dari kesadaran untuk secara spontan mengembara ke lokasi lain, mengilustrasikan kenyataan bahwa “ruang” itu sejatinya terbentuk “didalam” kesadaran itu sendiri.

Waktu adalah dimensi atau atribut dari keberadaan yang memungkinkan energi untuk menjalar dan bergerak berpindah posisi menyusuri ruang. Pergerakan dari energi membuat pengalaman menjalani kehidupan menjadi mungkin. Waktu sendiri terlihat seperti kaku, konstan sebuah realitas dari jarum jam yang berdetak tak berhenti pada arah tertentu dengan kecepatan yang konstan, tapi apa benar demikian?

Bagi planet-planet yang mengorbit pada tata surya, waktu memang bergerak dengan kecepatan yang konstan dengan adanya gaya gravitasi. Namun kesadaran kita mencerap pengalaman akan waktu sebagai atribut yang fleksibel, dalam artian waktu dapat berjalan dengan lebih lambat atau lebih cepat relatif kepada persepsi kita akan berjalannya waktu.

Contohnya ketika kita menghabiskan waktu dengan seseorang yang special buat kita, hari hari lain diluar itu tampak hambar dan tak berarti, dan waktu ketika kita bersama si special akan terasa berlalu dengan cepat, sedangkan waktu dimana kita menunggu datangnya hari kita bersama si special berlalu sangat lambat.

Jam di dinding sebenarnya tetap berjalan dengan kecepatan konstan. Kesadaran kitalah yang menjadi pencerap pengalaman akan waktu yang berhubungan langsung dengan frekuensi kesadaran kita yang membuat peristiwa dan momen yang menyenangkan berlalu lebih cepat dan peristiwa dan momen yang muram berlalu dengan sangat lambat. Waktu oleh karenanya berlalu melewati kesadaran kita dengan kecepatan yang ditentukan dari frekuensi kesadaran saat itu. Sementara tubuh fisikal kita tetap terikat dengan aliran waktu linear dari dunia fisikal.

Point penting dari kenyatan ini adalah bahwa waktu itu sendiri merupakan konstruksi dari kesadaran, jarum jam yang bergerak dengan tetap merupakan fitur dari dunia fisikal yang diproyeksikan dari kesadaran. Kecepatan waktu yang fleksibel pada ranah mental menunjukkan hal tersebut. Jika waktu merupakan hasil kerja dan tergantung pada frekuensi kesadaran, maka seperti halnya ruang, merupakan fenomena internal bukan ekternal, walaupun tampak merupakan fenomena diluar diri kita.

Kehidupan adalah proyeksi internal. Ruang dan waktu tampak eksternal bagi kita, namun ternyata keduanya merupakan hasil konstruksi kesadaran yang oleh karena itu eksistensinya ada dalam kesadaran kita sendiri.

Apakah itu membuat kehidupan ini hanyalah ilusi?

Well, dunia luar secara teknis memang adalah ilusi, karena hanya tampak dan terpersepsikan sebagai “diluar” sementara sebenarnya itu merupakan proyeksi dan konstruksi internal dari kesadaran kita.

Film yang kita lihat di bioskop adalah ilusi, tapi ilusi itu membuat momen dan cerita dramatis dapat tersajikan dan menjadi konsumsi dari para penonton. Ilusi dari sebuah film punya tujuan yang tertentu, yaitu untuk menghibur para penonton. Demikian juga ilusi yang jauh lebih canggih yaitu dunia fisikal yang memberikan bukan hanya visualisasi dari suatu proyeksi tapi juga "pengalaman rasa" terlibat dalam proyeksi tersebut. Dalam dunia eksternal, yang kita persepsikan diluar diri kita itulah kita mencerap pengalaman dan variasi tak terbatas akan drama kehidupan, dan berbagai cara untuk menemukan jalan kita kembali ke kodrat alamiah kita, kepada fitrah kita yaitu “Inner-self”.

Kehidupan adalah petualangan, itulah mengapa kita ada disini. Tidak masalah bagaimana caranya petualangan itu bisa ter-rekonstruksi dan menjadi ada, karena melalui kehidupan kita mendapatkan pengalaman dan dari pengalaman kita mensintesa kebijaksanaan.

Kebijaksanaan, tidak seperti ruang dan waktu bukanlah ilusi.

No comments:

 

Copyright 2016 Wanderers Home

Created By Yan Rezky | Designed By Zalfy Putra