All things are One. There is no polarity, no right or wrong, no disharmony, but only identity.
All is One, and that one is love/light, light/love, The One Infinite Creator...


~Ra, humble messenger of the Law of One~

Thursday, December 11, 2008

Menguak Rahasia Penciptaan (4 - selesai)

Rancang Bangun Harmonis sang-Pencipta
Disadur ringkas dari buku Shift of the Ages karya David Wilcox
Selengkapnya dapat di download for free di: www.divinecosmos.com


Bagian Keempat

EVOLUSI KESADARAN


Setelah kita melihat berbagai rancangan luar biasa dari penciptaan kita mungkin selanjutnya bertanya-tanya, untuk apa semua rancangan menakjubkan itu diciptakan? Mesti ada kegunaan dan peruntukkannya...dan dari informasi yang sudah terungkap sejauh ini bisa dikatakan bahwa semua itu merupakan “panggung” bagi Evolusi Kesadaran (sering diistilahkan juga evolusi spiritual) dalam lakon panjang yang bernama penciptaan.

Untuk itu kita akan melihat model “evolusi kesadaran” yang diberikan grup Ra kepada peradaban atlantis, yang secara akurat berhubungan dengan semua densitas keberadaan yang diidentifikasikan. Sebelumnya, salah satu prinsip dari model evolusi yang kita dapatkan dari Ra harus secara jelas kita fahami : kita secara visual dapat mempersepsikan semua bentuk kehidupan / organisme di bumi maupun dimana saja yang memiliki level kesadaran densitas pertama, kedua dan ketiga bukan hanya organisme berkesadaran densitas ketiga. Sehingga, densitas energi level ini tidak secara langsung identik dengan konsep “dimensi tinggi” seperti yang akan kami jelaskan nanti.

Densitas Pertama

Dalam informasinya Ra mengidentifikasikan kesadaran densitas pertama adalah kesadaran yang dimiliki oleh “dunia elemental”, tanah-udara-api dan air. Dalam densitas ini hanya eksis kesadaran kosong yang tidak mempunyai fokus dan persepsi akan ruang dan waktu.

Perlahan dalam waktu yang sangat lama, seiring dengan elemen-elemen ini berinteraksi satu sama lain, seperti air mengalir dan menggerus permukaan tanah, atau erosi angin terhadap tanah, kesadaran kosong yang dimiliki elemen tadi mulai terlokalisai dan terfokus pada area di tempat dan interval waktu saat itu. Ini akan mengakibatkan pusaran energi cerdas tadi berkombinasi menjadi “pola kecerdasan yang baru” untuk kemudian elemen dasar tersebut akan mulai “membentuk” asam amino dan pada gilirannya molekul-molekul DNA, yang merupakan tanda sekaligus jembatan yang memungkinkan “perpindahan dimensi” menuju ke densitas kedua.

Densitas Kedua

Densitas ini melingkupi semua “bentuk organisme” yang normalnya kita anggap sebagai “hidup” dari organisme bersel satu, flora dan fauna, burung dan ikan, primata kecuali manusia. Dalam densitas ini, sudah ada “kesadaran” namun organisme ini belum mengembangkan “persepsi” individualisasi yang terpisah (belum ada kesadaran “diri”) - mereka masih berbagi kesadaran kelompok / kesadaran kolektif melingkupi semua anggota spesies mereka.

Ini memicu berbagai fenomena yang bisa diobservasi, seperti segerombolan besar burung atau ikan yang secara spontan dan tiba-tiba melakukan gerakan serentak secara terus menerus merubah arah pergerakan kelompoknya tanpa terjadinya “tabrakan” dari satu anggota kelompok dengan anggota lainnya.
Dr. Rupert Sheldrake telah menulis secara mendalam mengenai hal ini, yang sebenarnya tidak terlalu sulit dimengerti jika kita memahami bahwa “kesadaran ada diseluruh semesta”, tidak hanya ada dalam pikiran kita. Kesadaran secara alami dibagi antar berbagai spesies fauna, melalui medium energi cerdas yang menghubungkan seluruh eksistensi kehidupan dalam semesta ini, dalam derajat tertentu kadang kelompok spesies yang berbeda juga dapat berbagi kesadaran.

Beberapa binatang dalam spesies tertentu selalu “berkonsultasi” dengan “pikiran kelompok” (Group Mind) ketika mereka melalui rutinitas harian mereka, dan jika ada cukup jumlah spesies yang sama yang memiliki suatu pengalaman yang sama, pengetahuan dari pengalaman ini akan terserap dan menjadi bagian dari “pikiran kelompok” atau “kesadaran kolektif”.

Inilah yang terjadi pada fenomena yang dikenal dengan “efek monyet ke-seratus” (hundredth monkey effect) dimana beberapa kelompok monyet diteliti dalam dua buah pulau yang jauh terpisah, terisolasi satu dengan lainnya. Ilmuan pada satu pulau melakukan uji coba dengan menaruh rintangan yang belum pernah dijumpai oleh kelompok monyet itu dalam mengambil makanan mereka. Baik makanan itu berupa kentang atau nasi, selalu dilumuri pasir, pada awalnya semua monyet itu mengalami kesulitan, namun ternyata beberapa monyet satu persatu seiring dengan waktu mulai mendapatkan ide untuk mencuci makanan mereka dalam aliran air untuk menghilangkan pasir yang melekat.

Setelah kira-kira seratus ekor monyet melakukan ide ini, suatu “batas kritikal masal” tercapai. Sementara kelompok monyet di pulau kedua tidak pernah diberi makanan dengan dilumuri pasir, namun begitu kelompok monyet di pulau pertama bisa memecahkan masalah tersebut, peneliti segera melumuri pasir makanan yang akan diberikan kepada kelompok monyet di pulau kedua, dan secara mencengangkan, secara tiba-tiba semua monyet di pulau kedua, segera mencuci makanan yang dilumuri pasir (yang baru pertama kali diberikan) tersebut “seakan-akan mereka telah terbiasa melakukan itu sebelumnya” , padahal kelompok monyet di pulau kedua tidak pernah melakukan kontak dengan kelompok 100 monyet di pulau pertama yang menjadi pendahulu dalam memecahkan permasalahan tadi.

Disini terlihat bahwa “batasan masal” tercapai begitu monyet ke-seratus mempelajari ketrampilan tersebut, dan kemampuan itu terserap menjadi perilaku umum dari kelompok, keseluruhan kelompok monyet lainnya selanjutnya mempunyai ketrampilan itu secara otomatis atau seringkita sebut secara insting. Ini menunjukan kepada kita bagaimana suatu ketrampilan bertahan hidup yang baru “terserap” dalam “kesadaran kolektif” dari spesies tertentu.

Dalam model yang diberikan Ra, ini merepresentasikan satu aspek dari evolusi kesadaran suatu spesies secara kolektif, tanpa didahului kesadaran bebas anggota dalam kelompoknya. Ini adalah sistem yang didesain secara alami untuk organisme level rendah agar mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan karenanya mampu berfungsi secara bersama-sama dengan otomatis dan instingtif. Pada masanya, fenomena ini dapat dilihat sebagai penemuan ilmiah paling spektakuler di awal abad ke 20.

Densitas Ketiga

Pertanyaan selanjutnya mungkin adalah “jika binatang bisa berbagi pikiran, kenapa sebagian besar manusia tidak bisa?” Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, kita sebenarnya masih memiliki kecenderungan kearah “pikiran kolektif” meskipun tidak lagi berada pada level “kesadaran telepati langsung/spontan”. Untuk bisa melanjutkan evolusi ke densitas ketiga, suatu individu harus melepaskan sebagian apa yang didapatnya pada densitas kedua.

Densitas ketiga adalah densitas keberadaan-pertama dimana setiap organisme memiliki “kesadaran langsung akan dirinya sebagai entitas yang unik dan terpisah dengan entitas lainnya”. Agar bisa memiliki kesadaran diri sebagai suatu “individu”, kita harus kehilangan “kemampuan” untuk berbagi “rasa” dan “pikiran” dengan entitas lain dalam spesies yang sama dalam suatu “kesadaran kolektif”. Pikiran individu dari masing-masing entitas sebenarnya menjadi jauh lebih “powerful” dalam proses ini.

Kita sebenarnya jauh didalam ingatan kita menyimpan memori memiliki kesadaran kolektif yang membuat kita beraktifitas dalam mode “autopilot” atau otomatis dan karenanya kita bisa tersedot kedalam “mentalitas kawanan” atau yang Dr. Caroline Myss sebut sebagai “insting primitif” dimana kita ingin menjadi bagian dari kelompok dan membiarkan kelompok melakukan semua “proses berpikir” bagi diri kita. Kendala dari memiliki “kesadaran kolektif” adalah terbuangnya kebutuhan untuk memiliki pemikiran individual, perenungan dan pembelajaran, akibatnya spesies tersebut kecil kemungkinannya akan tumbuh melalui pengalaman.

Dengan kesadaran densitas ketiga muncul untuk kedua kalinya proses kesadaran, hanya saja kali ini tidak secara langsung berkaitan dengan bertahan hidup, yaitu proses saling kasih sayang, cinta dan kreatifitas. Dalam konteks spiritual Ini dianggap sebagai level eksistensi terpenting dalam semesta karena pada level kesadaran ini setiap individu dianugerahi kondisi yang sangat unik, yaitu :

Keinginan Bebas (Free Will)

Di densitas ketiga ini tidak ada bukti “langsung” bahwa pencipta itu eksis. Jadi sangat mungkin bagi individu di dunia ini untuk menyimpulkan bahwa mereka “sendirian” dalam semesta. Namun kita juga dapat berpikir bahwa seluruh semesta kita merupakan permainan besar yang dirancang oleh “One Infinite Creator” dimana ide besarnya adalah untuk memecah kesadaran-NYA sendiri menjadi beberapa fragmen yang berbeda, yang setiap bagiannya mempunyai keinginan bebas, sebebas-bebasnya.

Konsep “Law of One” berulang kali menekankan hal ini, bahwa Free Will atau keinginan bebas adalah prinsip paling mendasar dan melandasi mekanisme alam semesta, dan seringkali hal ini kurang dimengerti dan dihargai. Keinginan bebaslah yang berada dibelakang pilihan dari berbagai fragmen dari sang pencipta untuk “berpisah” dan membuat cetak biru alam semesta yang pada gilirannya akan memunculkan Galaksi sebagai mega-entitas yang punya kesadaran.

Banyak individu yang merasa bahwa mereka memiliki “hak” atau bahkan “kewajiban” untuk memaksakan kepercayaan mereka pada individu lainnya. Namun, dibalik layar kehidupan ada lebih dari cukup “entitas level tinggi” yang secara akurat melindungi keinginan bebas orang lain, oleh karenanya memastikan bahwa tidak ada individu yang akan mendapatkan pengalaman yang melampaui atau melebihi dari apa yang mereka ciptakan sendiri untuk diri mereka melalui keinginan mereka sendiri juga.

Pengalaman kita dalam siklus peradaban di bumi sekarang ini sangat menentukan, karena kita telah menginstitusionalisasikan sistem “ilmiah” yang secara keras menentang ide bahwa ada kepentingan yang lebih tinggi dibalik semua kejadian dalam keseharian kita, sehingga jika ada individu yang mulai berpikir bahwa “realitas dibalik layar” itu benar-benar eksis, ia harus rela dikucilkan dan duduk dalam kesendirian dan pertanyaan mengapa ia bisa menjadi begitu berbeda hanya karena ia mengatakan apa yang dirasakan dan dialaminya.

Untuk itu, kita dapat sekali lagi menegaskan bahwa yang paling penting harus kita sadari untuk membebaskan diri kita dari “dongengan” peradaban modern sekarang ini adalah bahwa “kejadian-kejadian penting dalam hidup kita tidak terjadi secara acak atau kebetulan”. Kenyataanya adalah kita hidup dalam sebuah sistem keberadaan yang sangat struktur lengkap dengan hukum dan prinsip-prinsip mekanis yang sangat spesifk dimana keinginan bebas merupakan “landasan” dari semua itu.
Ada mekanisme alam yang sangat akurat dan telah dirancang sedemikian rupa yang menentukan kapan dan bagaimana kita akan menghadapi semua yang telah kita “ciptakan” seperti ungkapan ada aksi maka selalu ada re-aksi - baik di “jalur positif” ataupun “jalur negatif, yang akan kita bahas dibawah ini.

Proses penyesuaian untuk mencapai kondisi keseimbangan yang kita “undang” ke diri kita sendiri secara sangat presisi dilakukan oleh “entitas level tinggi” tanpa rasa “menghakimi” sama sekali, karena ini semata-mata adalah proses balancing energi. Jadi kita juga harus ingat ketika kita mengalami peristiwa yang kita sebut “musibah” kita sebenarnya menerima kompensasi dan penyesuaian dari energi kita sendiri atau bahasa lainnya menerima re-aksi dari aksi yang kita lakukan sebelumnya.

Proses penyeimbangan energi ini selalu memberi kita “kesempatan” untuk melakukan kemajuan spiritual secara drastis dalam setiap kejadiannya, karena kita secara umum selalu kembali ke kondisi seimbang dimana kita tidak mempunyai “pola energi yang tidak seimbang” dari masa lalu. Jika kita melakukan suatu aksi yang kita pikir “buruk”, biasanya kita akan “mengundang” secara segera “penyeimbang” dari aksi kita tersebut, kita menamakannya dengan berbagai macam istilah seperti, konsekuensi, karma, hukuman, penalti yang merujuk pada re-aksi dari aksi yang sebelumnya. Pendek kata apapun aksi kita baik kepada diri sendiri maupun orang lain akan selalu mendatangkan re-aksi yang sepadan.

Dan jika kita ingin secara spiritual melanjutkan evolusi kita di semesta ini, kita secara bijak dituntun untuk memilih dengan menggunakan keinginan bebas kita meninggalkan sedikit demi sedikit rasa “keterpisahan” kita dengan semesta diluar diri kita – ini berarti kita mencintai orang lain seperti halnya kita mencintai diri kita sendiri dan kita secara totalitas menghargai keinginan bebas mereka.

Pada saatnya kita akan sampai kesuatu kondisi dimana kita bisa bercermin dan “melihat” wajah Sang Pencipta disana, melihat wajah orang lain dan “menemukan” juga wajah Sang Pencipta disana, dan kita bisa mengagumi seluruh semesta disekeliling kita dan melihat Sang Pencipta ada disana, dengan menyadari bahwa “diri sejati” kita lah yang kita lihat dalam seluruh level, dalam seluruh perwujudan, seluruh eksitensi dan semua itu - sempurna. Pada akhirnya, kita tidak akan mempunyai personaliti, tidak mempunyai memori dan persepsi akan masa lampau, kini dan masa depan, hanya kesadaran sederhana bahwa kita bahkan tidak eksis, semua itu DIA, DIA adalah semua dan semua itu SATU adanya.

Jadi, maksud dari Sang Pencipta adalah agar setiap individu memilih secara sadar untuk sekali lagi kembali ke kondisi ke-Esa-an (Oneness) – dan bukan karena dipaksa oleh sesuatu diluar keinginannya sendiri. Jika kita hanya mengikuti apa yang dikatakan pada kita tentang apa yang boleh dan apa yang tidak, mana yang harus dilakukan, apa yang harus dipercayai, maka kita tidak akan mempelajari apa-apa, dan tidak akan membuat perkembangan apapun.

Mungkin, satu-satunya kesadaran yang paling mendasar adalah bahwa “Kita hidup dalam Semesta yang penuh Cinta dan Kasih Sayang”. Jika seluruh Semesta ini merupakan “SATU” entitas, satu kesatuan, maka itu berarti jika kita menyakiti orang lain, pada hakikatnya kita menyakiti diri kita sendiri.

Dalam densitas ketiga ini kita tidak dibebankan untuk memiliki “kesadaran penuh” akan prinsip ke-Esa-an yang melandasi semua eksistensi, malah Ra menginformasikan bahwa kita justru harus menyadari dan mengakui bahwa kita tidak-mengetahui semua hal tentang Semesta agar kita dapat melanjutkan perjalanan Evolusi kesadaran kita.

Dalam densitas ketiga, kita “meraba-raba” dalam gelap untuk mencari kebenaran, sementara kita tidak memiliki bukti langsung keberadaan Sang Pencipta. Yang paling penting adalah bagaimana kita menggunakan keinginan bebas kita untuk memilih jalur mana yang akan kita jalani.

Kita bisa memilih “mencintai dan menghargai orang lain” (Ra mengistilahkan dengan Service To Others – Jalan Pengabdian pada sesama, disingkat STO) atau “memanipulasi dan mengendalikan orang lain” (Ra mengistilahkan dengan Service To Self – Jalan pengabdian untuk diri sendiri, disingkat STS) atau dalam konteks “energi” disitilahkan dengan jalur positif dan jalur negatif.

Jalur positif adalah jalur yang meradiasikan atau membagi energi dari diri sendiri kepada orang lain, energi yang dimaksud sangat luas cakupannya (bisa berupa tenaga, pikiran, waktu, materi dan segala bentuk “bantuan” kita bagi orang lain) sedangkan jalur negatif adalah menghisap atau mengambil energi dari orang lain untuk dirinya sendiri, jadi ini hanyalah masalah “arah” atau “vektor” dari energi apakah “memancar keluar” atau “menarik kedalam”.

Penggunaan istilah “jalur positif” juga tidak berhubungan langsung dengan sistem “nilai” yang dikembangkan manusia seperti “baik” atau “jahat”, karena keduanya diperlukan agar semua materi “fisikal” bisa eksis – kita memiliki daya tarik dan tolak dalam aether, memancar dan menyerap, itulah yang “membuat energi dalam keseimbangan bisa “terkunci” satu sama lainnya dan memungkinkan terciptanya “energi beku” yang kita sebut materi fisikal atau benda padat.

Namun dalam realitas energi yang lebih “murni”, lebih halus atau apa yang sering kita sebut sebagai sesuatu yang spiritual, jalur positif adalah jalur yang relatif lebih “mudah” atau nyaman dalam jangka panjang perjalanan kita kembali ke kondisi ke-Esa-an, karena kedua jalur tersebut pada saatnya akan ter-rekonsiliasi dan melebur menjadi ciptaan penuh cinta dan kasih sayang.

Ketika kita melakukan aksi (ini bisa berupa tindakan, pikiran dan perkataan) atas dasar kasih sayang pada sesama, kita memancarkan keceriaan dan kebahagiaan pada sekeliling kita, akibatnya kita memperkuat prinsip ke-Esa-an (karena itu artinya kita memproyeksikan seakan-akan orang lain itu diri kita sendiri yang juga ingin dikasihi dan disayangi orang lain) dan jika kita melakukan aksi demi kenyamanan, keuntungan, keselamatan, atau eksistensi diri sendiri (egois) dengan mengorbankan orang lain, kita sejatinya berusaha menyerap energi hidup orang lain kedalam diri kita, untuk eksistensi diri kita sendiri, akibatnya kita memperkuat prinsip keterpisahan dalam satu landasan eksistensi yang sama.

Salah satu kesadaran yang lebih mendalam akan hal ini adalah bahwa ketika kita memancarkan dan membagi energi hidup kita kepada orang lain, secara alami energi itu akan “tertarik kembali” kepada kita tanpa kita harus memanipulasi dan mengontrol apapun untuk mendapatkannya – kita menciptakan “aliran” energi dalam diri kita. Energi hidup yang mengalir keluar dari diri kita menciptakan “ruang kosong” yang harus di “isi kembali”, dengan prinsip dari mekanikal fluida (zat cair) yang berlaku di alam semesta, tekanan tinggi (aether densitas yang lebih tinggi) selalu mengalir ke tekanan rendah, akibatnya semua energi hidup yang kita bagi keluar akan dikembalikan oleh semesta, satu kenyataan penting lainnya yang harus kita sadari yang menyiratkan ada kondisi “ke-Esa-an”, ke-utuh-an dari eksistensi semesta bahwa semua itu SATU adanya, dimana semua aksi yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita sendiri, ketika kita mengasihi orang lain sebenarnya kita mengasihi diri kita sendiri begitupun ketika kita menyakiti orang lain, kita hakikatnya sedang menyakiti diri kita sendiri.

Kita tidak akan secara otomatis “berpindah naik” ke densitas berikutnya yang lebih tinggi intensitas energinya jika kita tidak “siap” untuk eksis di level itu (eksistensi kita akan musnah dimedan yang lebih tinggi densitas energinya), secara alamiah ada mekanisme “penyaringan” untuk itu yang telah dirancang sedemikian rupa. Untuk bisa “lulus” naik ke densitas keempat-positif ( dekita harus mempunyai orientasi diatas 50% dalam kecenderungan “mengasihi dan menyayangi sesama”, yang termanifestasikan dalam pikiran, perasaan dan perbuatan kita, yang bagi “entitas level tinggi” kesemuanya itu benar-benar transparan dan bisa “dipersepsikan”.

Sekarang ini diperkirakan bahwa kira-kira sekitar 95% populasi manusia modern di bumi ini akan “mengulang” pelajaran siklus hidup densitas ketiga mereka pada planet lain “serupa bumi” setelah bumi secara utuh berada di dalam densitas keempat, karena sangat mudah dalam kehidupan di densita ketiga untuk fokus kepada materialisme dan bagaimana menemukan cara untuk bisa memanipulasi orang lain, binatang, tumbuhan, dan bumi itu sendiri untuk meningkatkan level kenyamanan dan kemudahan hidup bagi eksistensi diri sendiri, dengan kata lain penyerapan seluruh energi kehidupan bagi diri kita sendiri.

Karena alasan itulah struktur kehidupan kita sekarang ini sedang menuju kehancuran, lingkungan rusak, secara sosial dan psiklogis manusia tidak bergerak lebih maju dari peradaban sebelumnya, apalagi secara spiritual, kenaikan intensitas energi seiring makin dekatnya kita ke densitas keempat, yang membanjiri tata surya kita pada prinsipnya “tidak mengizinkan” sistem kesadaran kolektis seperti ini untuk eksis lebih lama lagi – densitas keempat mempunyai intensitas energi internal yang sangat tinggi, semua eksistensi yang lebih rendah intensitas energinya tidak akan “tahan” untuk tetap eksis dalam medan energinya.

Namun, ketika siklus komos ini telah selesai, jika kita bisa sedikit saja diatas level 50% mencintai dan mengasihi sesama dengan sepenuh hati kita, segenap pikiran dan dalam perilaku kita, maka intensitas energi level dari diri kita akan mengalami kenaikan, karena “cinta” adalah energi dengan intensitas paling tinggi diseluruh semesta, dan itu berarti kita telah siap untuk melanjutkan evolusi ke level selanjutnya dan naik kelas ke realitas keberadaan yang lebih tinggi. Jadi, terminal selanjutnya dari bumi sudah di-set, bumi kita ini akan ber-transformasi menjadi bentuk yang lebih “tinggi” versinya yaitu “bumi densitas keempat-positif”, tinggal kita memilih akan kah kita “ikut” bersama bumi atau tidak.

Mereka yang akan “mengulang” siklus kehidupan densitas ketiganya akan ditempatkan pada densitas energi level yang sesuai dengan kondisi mereka untuk meneruskan “pelajaran” hidup mereka. Semesta pada dasarnya “mempersilahkan” kepada manusia untuk memilih (baik sadar dan tidak sadar) di densitas ketiga ini, namun kebanyakan manusia modern di bumi sekarang ini terjebak pada apa yang Ra gambarkan sebagai “jebakan keapatisan atau ketidak acuhan”, akibatnya tindakan mereka campur aduk dan tidak konsisten sehingga tidak pernah cukup terpolarisasi pada satu jalur, itu sebabnya sebagian besar populasi akan mengulang siklus kesadaran densitas ketiganya ditempat lain yang sesuai. Proses ini bukan proses penghakiman baik atau jahat, lebih ke arah “begitulah adanya”, proses yang natural.

Prinsip metafisika umum ini berlaku universal diseganap semesta, dan tulisan ini merupakan upaya untuk “mengingat kembali” penciptaan dari persepektif “Yang-Satu”, sumber keberadaan kita semua. Begitu kita bisa membuka fakta sebenarnya dibalik sains, pikiran kita akan terkondisikan untuk dapat memperoses dan mencerna pengetahuan dari dalam diri yang lebih besar, dan kita pada gilirannya akan bergerak maju dalam jalur perjalanan spiritual kita, sekali lagi perlu disampaikan bahwa semakin kita bisa keluar dari persepsi bahwa kita adalah makhluk individu yang terpisah dari yang lain, untuk kemudian kita bisa melihat “unity” atau “wholeness” dan mempersepsikan “yang lain” sebagai bagian dari eksistensi yang sama, bagian dari Diri “Yang-Satu” semakin cepat progress yang kita peroleh.

Sebagai gambaran singkat, densitas keempat adalah densitas dari “unconditional love” - Cinta kasih tanpa syarat. Dimana masing-masing jalur baik STO dan STS akan belajar di densitas ini akan segenap aspek dari Cinta kasih. Pejalan di jalur STO (Service To Other, atau jalur positif) akan belajar tentang bagaimana mencintai “yang lain” seperti halnya diri sendiri, dalam bentuk paling ekstrimnya adalah sampai ke level “martir” bagi manusia yang lain. Sedangkan pejalan di jalur STS (Service To Self, atau jalur negatif) akan berusaha untuk belajar mencintai Dirinya sendiri diatas orang lain yang dalam bentuk paling ekstrimnya “membunuh” orang lain bagi eksistensi dirinya sendiri. Dalam densitas keempat tidak ada lagi proses “veil” atau hijab, tiap detak niat dan gerak pikir orang lain terbuka dan terbaca oleh semua orang, dan berbagai fenomena “supranatural” yang kita kenal sekarang ini akan menjadi sesuatu yang normal di densitas keempat ini.
Pada akhir densitas ini akan terbentuk yang namanya “social memory complex” atau “kesadaran sosial kolektif” yang merupakan akumulasi dari kesadaran pribadi yang berada pada frekuensi keberadaan yang sama dan berjalan ke arah jalur spiritual yang sama. Analogi yang pernah kita temukan pada densitas ketiga adalah pada kesadaran kolektif dari sekawanan lebah, dimana pada setiap individu kawanan terbuka informasi dari seluruh kawanan, dan tiap individu merupakan bagian dari kesadaran kawanan, benar-benar manifestasi dari satu adalah semua...semua itu satu, jadi fenomena kesadaran sosial kolektif ini merupakan ciri utama di densitas keempat.

Densitas kelima merupakan densitas akan “universal wisdom” - kebijaksanaan universal, densitas dimana yang menjadi inti pelajarannya adalah segala sesuatu tentang mekanisme alam semesta bekerja. Pada densitas ini pengetahuan akan semesta terbuka, sampai ke level yang paling elementer, semua mekanisme semesta baik fisikal maupun yang metafisikal terbuka untuk diraih.

Pada Densitas keenam, densitas yang merupakan ”density of balance” – densitas keseimbangan, cinta kasih dan kebijaksanaan akan diintegrasikan dan dihayati pada titik keseimbangannya yang paling optimal. Di densitas ini Cinta kasih akan diperkaya dengan kebijaksanaan sehingga dalam mengekspresikannya akan pas baik “content” dan “context” nya. Sebagai contoh secara fisikal di densitas ketiga misalnya dalam mengekspresikan cinta kasih pada anak-anak kita, jika dilakukan secara membabi buta yaitu dengan mengikuti semua kemauan sang anak, dari sisi kebijaksanaan itu dianggap tidak bijaksana karena justru dengan begitu dalam jangka panjang tidak memberikan kebaikan dan manfaat bagi sang anak karena tidak mengajar sang anak untuk disiplin, menghargai orang lain dan mengerti konsekuensi semua pilihan yang ia lakukan. Untuk itu cinta kasih pada anak kita perlu diimbangi dengan kebijaksanaan akan apa dan bagaimana mengekspresikannya dengan pas agar hasil yang diperoleh akan positif baik bagi sang orang tua dan sang anak dikemudian hari.

Densitas ketujuh adalah “density of Oneness” - Densitas ke-Esaan, dimana pada densitas ini kesadaran bahwa semua itu adalah bagian dari yang-satu dan ke-esaan dihayati secara penuh dan seluruh aspek keberadaan dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang sakral, sehingga di densitas ini dualisme akan terlampaui, dan semuanya ini akan dikenal dan dipersepsikan sebagai satu kesatuan, maka istilah “semua itu satu”, “tidak ada dualisme yang ada hanya identitas”, menjadi sebuah keniscayaan yang bisa dihayati. Pada gilirannya maka secara perlahan semua rasa dan perspektif keterpisahan atau individualitas akan larut dan lebur, hilang musnah dan sekali lagi melalui keinginan secara sadar menyatu, manunggal, back into Oneness.

Akhirnya densitas kedelapan adalah “pintu gerbang” keberadaan dari oktaf berikutnya, merupakan proses kembali yang utuh kedalam awal keberadaan. Ketika inilah satu siklus lengkap berupa sistem evolusi kesadaran melalui 7 densitas utama dan 1 densitas transisi (membentuk sistem oktaf, dimana densitas kedelapan merupakan densitas transisi yaitu merupakan juga densitas pertama dari oktaf berikutnya), persis seperti tangga nada diatonik dimana “do” tinggi yang merupakan nada kedelapan merupakan juga “do” pertama dari oktaf nada berikutnya.

Kita sekarang ini sudah memasuki densitas keempat dan dalam waktu yang tidak lama lagi akan secara utuh masuk kedalam densitas ini, dan kita memiliki banyak alasan untuk berharap bahwa hidup akan menjadi jauh lebih fantastis dibandingkan dengan apa yang kita jumpai sekarang ini. Ra mengatakan bahwa kehidupan di densitas keempat positif akan “seratus kali lebih harmonis” dari kehidupan densitas ketiga yang kita alami sekarang ini. Hanya saja, seperti halnya proses kelahiran dan transisi, akan ada sedikit ketidak nyamanan dan goncangan yang harus dialami sebelum secara penuh proses itu dilalui.

So, my dear friend...Enjoy the ride....:)


- Selesai -

No comments:

 

Copyright 2016 Wanderers Home

Created By Yan Rezky | Designed By Zalfy Putra